Minggu, 09 Maret 2008

Drs. Frans Lebu Raya



"Saya anak petani""Saya anak petani"

SOSOKNYA telah go to Flobamorata semenjak sepuluh tahun lalu. Sebelum itu, nama Frans Lebu Raya belum banyak dikenal. Figurnya juga belum banyak diketahui, kecuali di kalangan pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dia masih tenggelam di bawah sungkup format politik orde baru yang masih sangat diatur dan sentralistis.
Tetapi ketika terjadi perubahan politik di negeri ini saat reformasi tahun 1998, Frans mulai tampil ke pentas arena. Bersamaan dengan menguatnya sosok Megawati di tingkat pusat, di NTT Frans dengan beberapa kawannya di barisan tercederai ini naik panggung melalui pintu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"Waktu itu situasi politik belum stabil. Banyak yang tidak mau masuk PDIP karena takut ditangkap. Tetapi saya dengan beberapa teman, seperti Pak Anton Haba, memberanikan diri terlibat dalam pergulatan politik bersama PDIP. Kami terjun ke PDIP, bergabung bersama Ibu Mega di barisan orang-orang yang sering disakiti penguasa ketika itu," kenang Frans, ketika diwawancarai Pos Kupang di ruang kerjanya, Rabu (20/2/2008) lalu.
Anak petani dari Adonara ini banyak berkisah tentang riwayat perjalanannya yang dilukiskannya penuh onak dan duri. Frans mengatakan, karier politik yang sekarang diraihnya merupakan hasil investasi dari segudang pengalaman pahit, penderitaan, tekad, dan semangatnya yang pantang menyerah. Latar belakangnya sebagai anak petani di kampung, kata Frans, telah turut mewarnai sepak terjangnya baik sebagai politisi maupun sebagai pejabat publik yang dekat dengan orang kecil, low profile dan tidak memposisikan diri terlalu jauh di atas.
Ikuti perbincangan dengan Frans Lebu Raya yang akan maju menjadi calon Gubernur NTT dalam arena pemilihan gubernur berpasangan dengan Ir. Esthon Foenay, M.Si, yang lebih tenar dengan sebutan FREN.


Bisa Anda ceritakan pengalaman politik yang menghantar Anda hingga mencapai posisi seperti sekarang ini?
Dunia politik sangat berbeda dengan dunia lain, terutama birokrasi. Di birokrasi, jenjang seseorang itu berjalan pasti, biar pelan. Dari bawah ke atas. Tetapi di politik berbeda. Tidak ada kepastian di politik bagi seseorang meniti kariernya. Hari ini bisa berhasil, besok dan lusa belum tentu. Saya sudah sepuluh tahun bergelut di dunia politik hingga sekarang menjabat sebagai wakil gubernur. Saya mulai terjun secara intens dan total di politik tahun 1998 ketika terjadi perubahan peta politik di tanah air. Seperti kita ketahui ketika itu orde baru mulai melemah dan Megawati tampil sebagai simbol perlawanan arus bawah, perlawanan orang-orang kecil yang merasa dicederai. Di NTT, bersama beberapa orang teman seperti Pak Anton Haba, kami terjun ke PDIP dan bersama-sama mendirikan dan membesarkan PDIP NTT. Saya ingat ketika awal-awal banyak yang enggan bergabung karena takut ditangkap. Saya berani karena saya sadar bahwa itulah dinamika yang terjadi dalam politik, itulah risiko politik yang harus dihadapi. Dunia politik adalah dunia yang keras. Orang yang pengecut tidak ada tempatnya dalam politik. Pemilu tahun 1999 menghantar saya ke gedung DPRD NTT. Lima tahun di Dewan, saya kemudian maju bersama Pak Piet Tallo merebut kursi gubernur dan wakil gubernur.


Anda bilang tidak ada tempat bagi pengecut di politik. Tetapi sosok Anda terkesan sangat lembut dan santun untuk dunia politik yang keras....
Benar. Meski keras, tetapi menurut saya, politik juga punya etika, punya norma, ada sopan santunnya. Di politik saya lebih suka menampilkan diri sebagai orang yang sederhana, low profile dan santun. Jalan kekerasan tidak ada dalam benak saya. Saya juga tidak setuju dengan konsep Machiaveli, yakni tujuan menghalalkan cara. Itu tidak ada pada saya. Yang paling penting menurut saya adalah sikap, prinsip dan pandangan. Sikap, prinsip dan pandangan seorang politisi harus jelas dan tegas. Yang berbeda cuma cara. Fortiter in re, suaviter in modo. Tegas dalam prinsip, halus dalam cara. Saya juga tidak suka politisi yang seperti bunglon, loncat sana loncat sini. Pagi begini, siang begitu, malam berubah lagi. Saya tidak seperti itu. Saya punya sikap, prinsip dan pandangan. Karena itu, saya tetap membawa diri, menyatakan diri saya sebagai Frans Lebu Raya, bukan siapa-siapa.


Latar belakang Anda adalah LSM. Sejauh mana back ground itu mempengaruhi Anda?
Dunia LSM mengajarkan saya untuk dekat dengan masyarakat. Di LSM saya merasakan betul apa artinya melayani, apa artinya dekat dengan rakyat kecil. Di LSM sekurang-kurangnya saya bisa menangkap apa harapan warga di kampung-kampung, menangkap persoalan-persoalan yang mereka hadapi, dan juga mengerti bagaimana mendekati mereka. Saya bisa merasakan bagaimana suka duka dan beratnya perjuangan mereka meniti hidup yang semakin keras dan berat. Saya juga anak petani di kampung. Suasana dan dinamika di kampung sesungguhnya telah menjadi panti pendidikan pertama buat langkah saya selanjutnya. Pengalaman di LSM dan latar belakang dari kampung itu sangat mempengaruhi saya, sehingga ketika berada di tengah masyarakat, saya tahu bagaimana mesti membawa diri, bagaimana menggunakan bahasa orang kampung. Saya ini orang kampung, anak petani yang lahir dari rahim desa, merasakan denyut kehidupan di desa, akrab dengan orang-orang kecil.


Dari pengalaman Anda lima tahun menjabat wakil gubernur, apa yang dapat tangkap dari masyarakat?
Saya melihat bahwa orang-orang kita itu butuh dihargai, disentuh, diperhatikan dan disapa. Mereka punya kemampuan, punya cara dan jalan menyatakan jati dirinya. Biarpun hidup di kampung-kampung, toh mereka punya nilai-nilai, punya prinsip, punya pandangan hidup. Mereka mungkin miskin harta, tetapi tidak miskin harga diri. Mereka punya pandangan hidup yang mempengaruhi mereka, punya filosofi yang membuat mereka bertahan. Bisa lihat, ketika krisis ekonomi mendera bangsa ini, orang-orang kampung adalah orang yang kurang merasakan dampaknya. Itu karena mereka punya nilai, punya sikap, punya pandangan, punya potensi dan punya kemampuan diri. Daya juang mereka sangat tinggi. Mereka tahu bagaimana mengatasi kesulitan, bagaimana keluar dari krisis. Itu sebabnya, di mana pun saya berkunjung dalam jabatan sebagai wakil gubernur, saya tidak memposisikan diri secara elitis, mengambil jarak yang terlalu jauh dengan masyarakat. Saya selalu berusaha untuk menjadi seperti mereka. Saya punya kesan, orang-orang kampung itu sangat menghargai orang lain jika dia juga dihargai, disapa.


Dari pengalaman itu, bagaimana Anda melihat posisi pemimpin di tengah masyarakat?
Bagaimana pun juga seorang pemimpin tetap dibutuhkan dalam setiap organisasi, termasuk pemerintahan. Tetapi dari pengalaman, saya melihat bahwa seorang pemimpin itu mesti berdiri di depan, di tengah dan di belakang masyarakat. Tepat filosofi orang Jawa, ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Menjadi pemimpin itu harus berdiri di depan memimpin rakyat. Kalau rakyat menghadapi kesulitan, pemimpin harus tampil di depan memimpin rakyatnya. Jangan ada masalah, pemimpin lari duluan. Itu tidak gentle. Dia juga harus jadi contoh. Jangan dia teriak anti korupsi, tetapi dia sendiri terlibat dalam praktek korupsi. Pemimpin juga mesti berada di tengah. Artinya, harus berada di tengah masyarakat, dekat dengan warga, kenal mereka, sering turun ke rakyat. Saya kagum dengan Pak El Tari dan Pak Ben Mboi yang sangat dikenal masyarakat NTT. Mereka sangat dikenal karena dekat dengan masyarakat, sering turun ke bawah melihat warganya. Jadi pemimpin itu harus mengakar ke bawah. Jangan seperti kumis yang akarnya ke atas. Pemimpin juga harus berada di belakang. Dia harus mendorong warga menerobos kesulitan hidupnya. Berada di belakang bukan berarti bersembunyi di balik penderitaan rakyat, bukan bersembunyi di balik kedok kepentingan rakyat lalu mencari keuntungan diri sendiri. Hanya pemimpin yang dekat dengan rakyat, kenal rakyatnya, berbuat sesuatu yang membekas bagi rakyatnya akan dikenang sepanjang sejarah.


Tahun ini NTT 50 tahun. Tetapi kita kok begini saja? Apa yang salah?
Saya pikir tidak bijak kalau kita suka mencari-cari pihak yang salah. Sikap itu kontraproduktif. Menurut saya, kita semua bersalah. Biar kecil, semua kita punya andil menjadikan NTT dalam kondisi seperti sekarang ini. Sebagai rakyat, mungkin kita tidak serius mengelola potensi yang ada pada kita. Kita salah karena tidak bekerja keras. Mengapa orang-orang Jawa saja yang bisa buka warung? Mengapa mereka saja yang jadi penjual daging ayam, tahu tempe, pisang goreng di NTT? Etos kerja kita yang harus kita perbaiki, tingkatkan lagi. Kita punya kemampuan, punya potensi, kemampuan intelektual kita juga cukup. Hanya kita tidak maksimalkan semua talenta dan potensi itu. Sebagai pemimpin, mungkin kita terlalu tinggi menempatkan diri, terlalu elitis, kurang membumi. Jadi pertanyaan kenapa NTT masih seperti ini adalah pertanyaan yang sangat baik bagi kita untuk refleksi.


Anda bersemangat mengajak masyarakat masuk laut dengan program gerakan masuk laut atau gemala. Bagaimana Anda melihat respons masyarakat terhadap program ini?
Betul. Gemala mesti menjadi program prioritas. Jangan lupa, laut kita jauh lebih luas dari daratan. Dan dalam laut itu ada begitu banyak potensi yang belum kita garap. Sebetulnya dari laut kita bisa maju dan sejahtera. Potensi ikan di laut kita luar biasa. Saya dengar ikan tuna atau cakalang, misalnya, di luar negeri mahal sekali. Di Amerika satu porsi ikan cakalang mentah yang terdiri dari tiga potong kecil di rumah makan Jepang mencapai sepuluh dolar. Hitung saja satu ekor ikan berapa porsi dan kalikan dengan sepuluh dolar. Bisa jadi di Amerika harga satu ekor cakalang menembus Rp 2 juta. Sementara di Larantuka harga ikan cakalang satu ekor cuma Rp 10 ribu. Jelas, terjadi kesenjangan yang terlalu jauh antara nelayan kita dengan pemilik modal. Nelayan kita punya ikan, tetapi yang paling banyak meraup keuntungan adalah investor di tempat lain. Apakah kita sendiri tidak bisa mengolah ikan jadi abon, dendeng atau ikan kaleng? Karena itu dengan gemala kita ajak masyarakat untuk mulai melihat laut. Memang tidak mudah. Butuh waktu karena sudah menyangkut kultur juga. Kita butuh waktu. Tetapi saya mau ingatkan bahwa potensi di laut itu luar biasa. Mengapa kita belum mau masuk laut? Ini tantangan sekaligus peluang.


Usia Anda sudah mendekati 50 tahun. Tetapi Anda kelihatan masih segar. Apa rahasianya?
Hee... hee... Pepatah Latin khan bilang, men sana in corpore sano. Jiwa yang sehat itu terdapat dalam tubuh yang sehat. Saya merasa bahwa pepatah ini bukan sekadar basa-basi. Badan atau tubuh dan pikiran atau jiwa itu harus seimbang. Pikiran tidak bisa sehat kalau tidak didukung dengan badan yang sehat. Sebaliknya badan tidak bisa sehat dan segar kalau pikiran juga tidak sehat. Rahasianya? Ya, selalu berpikir positif dan menjalani pola hidup sehat. Dari pengalaman saya, orang sehat tidak semata karena makanan, tetapi juga karena pikiran. Selalu berpikir positif, jangan suka melihat dan memandang sesuatu itu dari sisi negatifnya saja. Orang China itu punya filsafat ying dan yang. Menurut mereka segala sesuatu itu selalu punya dua sisi, positif dan negatif. Yang perlu dilakukan adalah menjaga keseimbangan antara keduanya. Itu rahasianya.


Sebagai pejabat dengan begitu banyak kesibukan, menurut Anda apakah faktor usia juga penting menjadi pemimpin?
Faktor usia itu relatif. Siapa saja di usia mana saja bisa menjadi pemimpin kalau dia mau. Tetapi saya pikir, siapa pun tidak bisa menghindari diri dari kenyataan bahwa semakin tua usia, semakin lemah fisik. Semakin lemah fisik, semakin lamban berpikir, lamban bereaksi. Itu alamiah, tidak bisa dihindari.


Selama jadi wakil gubernur, apakah Anda punya tokoh yang jadi idola?
Pastilah. Tetapi menurut saya, yang paling penting itu bukan mengidolakan seorang tokoh, tetapi bagaimana kita belajar dari orang yang kita idolakan itu. Dari para gubernur sebelumnya, saya banyak belajar dan menimbah kebajikan mereka. Dari Pak El Tari saya belajar bagaimana bekerja keras dan berjuang bersama rakyat. Pak Tari adalah peletak dasar pembangunan NTT. Dari Pak Ben Mboi saya belajar bagaimana mendekatkan diri dengan rakyat. Ketika menjadi gubernur, Pak Ben berumur 43 tahun. Fisik yang masih kuat di usia muda seperti itu sangat memungkinkan Pak Ben mengunjungi hampir semua desa di NTT. Saya juga belajar sikap tegas dari Pak Ben sebagai seorang pemimpin. Dari Pak Fernandez saya belajar ketajaman membedah masalah. Sebagai dokter, pisau analisa Pak Fernandez tajam. Terbukti, meski cuma satu periode, tapi program Gempar dan Gerbades sangat dikenal dan sangat jauh gaungnya. Dari Pak Musakabe saya belajar rendah hati, jujur dan selalu berpikir positif. Beliau seorang tentara, tetapi sangat rendah hati, jujur dan tulus. Dari Pak Piet Tallo saya belajar kesabaran dan ketabahan. Pak Piet menjadi gubernur tatkala terjadi eksodus besar-besaran sesama warga eks Timor Timur. Dalam dalam hampir separuh masa jabatannya, Pak Piet dengan sabar dan tabah mengatasi masalah pengungsi dan aneka permasalahan lainnya.


Bersama Ir. Esthon Foenay, Anda maju dalam Pilgub NTT. Apa motivasi Anda sebetulnya?
Ya, kami berdua maju, serius dan sungguh-sungguh. Kami ingin bersama rakyat NTT merancang bersama suatu kehidupan yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih sejahtera. Sudah terlalu lama NTT ini distigmakan dengan sekian banyak nada minor. Dari begitu banyak aspek kehidupan, kita selalu berada di nomor butut. Apakah memang kita tidak mampu lagi? Saya kira tidak. Apakah kita bodoh? Saya kira tidak juga. Nah, dari pengalaman sebagai wakil gubernur, saya melihat bahwa kita belum berhasil karena kita tidak kompak. Program-program yang dirancang belum menyentuh rakyat. Pemimpin jalan sendiri, rakyat jalan sendiri. Ada kesenjangan yang terlalu jauh antara program pemerintah dan kebutuhan rakyat. Akibatnya, rakyat enggan berperan dalam pembangunan NTT karena melihat semua program pembangunan milik pemerintah, bukan milik mereka. Kami mau mengubah paradigma ini. Kami ingin semua kita sama-sama bahu membahu membangun NTT. Itu sebabnya motto kami adalah Sehati Sesuara, Membangun NTT Baru. Sederhana sekali, tetapi sarat makna karena menyentuh langsung hati rakyat, mengajak dan memposisikan mereka sebagai mitra pemerintah membangun NTT Baru, NTT yang kita cintai bersama. (tony kleden)



Biografi :

Nama : Drs. Frans Lebu Raya
Tempat/tanggal lahir : Watoone, Adonara, Flotim, 18 Mei 1960
Istri : Ny. Lusia Adinda Lebu Raya
Tempat/tanggal lahir : Denpasar, 6 Maret 1974
Menikah : 1 Mei 1999
Anak :
* Maria Jubliane Laetare Nurak (Leta)
Lahir 28 Agustus 2000
* Karmelia Eleonora Putri Bengan Tokan (Laura)
Lahir 4 Oktober 2004

Tidak ada komentar: